Saya Ingin menjadi entrepreneur sukses..... itulah ucapan yang disampaikan karyawan ketika ditanyakan apa yang mereka inginkan nanti k...
Saya Ingin menjadi entrepreneur sukses..... itulah
ucapan yang disampaikan karyawan ketika ditanyakan apa yang mereka
inginkan nanti kalau berhenti dari kerja kantoran. Pertanyaan
selanjutnya adalah, apa yang melatar belakangi mereka menjadi entrepreneur? Hmmmm...
karyawan mulai mengkerutkan kening untuk
menjawabnya.
Rasanya, memang bisa ditebak ketika mendapatkan
pertanyaan ini karena memang tidak gampang. Bicara tentang motif, beberapa
orang menjawab mereka butuh uang. Lain lagi yang menjawab untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau begitu, seorang yang bekerja sebagai
pedagang kaki lima, bisa disebut sebagai seorang entrepreneur juga dong? Jelas,
bisa,
Yang menjadi permasalahan, apa dulu yang menjadi
motif menjadi seorang entrepreneur dalam kehidupan ini. Hal ini perlu dijawab
dengan baik karena berhubungan dengan mau apa nantinya setelah menjadi
entrepreneur. Banyak orang yang kurang memahami motif ini dengan baik sehingga
dampaknya adalah ketika menjalankan bisnis, tidak mencapai titik optimasi dari
tujuan bisnis itu sendiri yaitu profit, people, planet, sustainabiltiy dalam
bisnis serta bisnis yang tumbuh dan berkembang dari skala mikro ke kecil, kecil
ke menengah dan menengah ke besar.
Dari Neccsity based ke Opportunity Based
Dalam konteks entrepreneurship, ada dua motif
yaitu necessity based dan opportunity based. Kedua motif ini perlu
diperhatikan karena saling memiliki korelasi. Diawal, setiap entrepreneur boleh
memiliki motif necessity based tetapi tidak boleh “kelamaan’ karena untuk
mempercepat kesuksesan, harus berubah kepada opportunity based. Jadi, apa
sebenarnya kedua motif ini?
Motif necessity based menggambarkan bagaimana
seorang entrepreneur mendasarkan pilihan menjadi entrepreneur kepada kebutuhan hidup
yang dipenuhi. Biasanya, teman-teman entrepreneur menyebutnya dengan motif
“kepepet”. Dalam hal ini, jelas bagaimana seorang entrepeneur itu memulai
usahanya untuk memenuhi kebutuhan mereka yang kalau mengacu kepada Teori Maslow
disebut sebagai basic need.
Tentu anak muda di Kota Bandung memiliki kebutuhan
dasar berupa sandang, pangan dan papan. Jelas, kebutuhan ini harus dipenuhi dan
pilihannya menjadi seorang entrepreneur agar bisa mendapatkan makan (pangan),
baju (sandang) dan juga tempat berteduh (papan). Kebutuhan untuk memenuhinya
akan “mendorong” setiap anak muda untuk berbisnis dalam konteks
entrepreneurship tadi.
Apakah salah dengan motif ini? Anak muda di Kota
Bandung tidak salah dalam memulai bisnis dengan berdasarkan kepada necessity
based. Hal ini dibutuhkan untuk mengawali bisnis. Ketika anak muda didorong
oleh kebutuhan mereka, akan berusaha berbisnis.
Akan tetapi, akan jauh lebih baik bila anak muda
di Kota Bandung memulai bisnis dari motif peluang atau opportunity based. Hal
ini menggambarkan bagaimana seorang entrepreneur berbisnis itu berdasarkan
peluang dan kembali kekonsep entrepreneurship yaitu kemampuan seseorang untuk
melihat atau menciptakan peluang dan merubahnya menjadi sesuatu yang bernilai
ekonomis yang bermanfaat kepada diri sendiri (profit), memberikan manfaat bagi
banyak orang (people), menjaga kelestarian alam (planet) serta dalam jangka
panjang (sustainabiltiy serta tumbuh dan berkembang). Peluang itu adanya di
lingkungan eksternal para entrepreneur, khususnya para konsumen. Disinilah
perlu dipahami perilaku konsumen.
Bila entrepeneur sudah memulai dengan motif
necessity, sudah seharusnya merubahnya menjadi opportunity based agar bisnis
tersebut terus berkembang. Oleh karena itu, rubahlah motif entrepreneur muda dari Necessity based
menjadi opportunity based. Sukses buat kita semua.....
Masih takut
memilih untuk jadi entrepreneur sukses? Ingat…….., NOW OR NEVER…..
PPST: Pensiunpreneur Siapa Takut
Tulisan ada di www.strategidanbisnis.com
Tulisan ada di www.strategidanbisnis.com